Jumat, 28 Juni 2013

RUANG LINGKUP HERMENEUTIKA



Ruang Lingkup Hermeunitika
            Hermeunitika dalam sejarah pertumbuhannya mengalami perkembangan dan perubahan-perubahan persepsi dan model pemakaiannya, sehingga muncul keragaman pendefinisian dan pemahaman terhadap hermeunitika itu sendiri. Gambaran perkembangan pengertian dan pendefinisian tersebut oleh Richard E.Palmer dalam Hamidi (2007: 82-85) dibagi dalam enam kategori hermeunitika sebagai berikut :
a)      Hermeunitika sebagai Teori Penafsiran Kitab Suci
Terminologi hermeunitika dalam pengertian ini pertama kali dimunculkan sekitar abad 17-an oleh J.C Dannhauer. Meskipun sebenarnya kegiatan penafsiran dan pembicaraan tentang teori-teori penafsiran, baik itu terhadap kitab suci, sastra maupun dalam bidang hukum, sudah berlangsung sejak lama. Misalnya dalam agama Yahudi, tafsir terhadap teks-teks Taurat telah dilakukan oleh para Ahli Kitab. Dalam tradisi Kristen, juga pernah terjadi dua macam penafsiran terhadap kitab sucinya, yaitu penafsiran harfiah yang dianut oleh mazhab Anthiokia dan penafsiran simbolik yang banyak digunakan oleh Mazhab Alexandria. Demikian juga dalam Islam, ilmu tafsir (hermeunitika Al-Qur’an) dipakai sebagai upaya untuk memahami kandungan Al-Qur’an, sehingga muncul beraneka macam metode tafsir. Hermeunitika Al-Qur’an dalam perspektif ini dijadikan sebagai sebuah teori tafsir untuk mengungkapkan makna “tersembunyi” di balik teks atau kitab suci.
b)      Hermeunitika sebagai Metode Filologi
Dalam laju perkembangannya, hermeunitika mengalami perubahan dalam memperlakukan teks. Perkembangan ini merambat sejalan dengan perkembangan rasionalisme dan filologi pada abad pencerahan. Dalam wilayah ini, sekalipun suatu teks berasal dari kitab suci, harus juga diperlakukan sebagaimana teks-teks buku lainnya. Semua teks dipandang sama-sama memiliki keterkaitan dengan sejarah ketika teks itu muncul. Itu artinya, metode hermeunitika sebagai penafsiran kitab suci mulai bersentuhan dengan teori-teori penafsiran sekuler seperti filologi. Sumbangan yang berarti dalam memperkaya pengertian hermeunitika ini berasal dari seorang teolog modern yang bernama Rudolf Bultman dengan konsep penafsiran demitologisasinya dan Wilhelm Dilthey dengan konsep historical understandingnya. Demikian pula terjadi di kalangan pemaharu muslim, seperti Ahmad Khan, Amir Ali dan Ghulam Ahmad Parves.
c)      Hermeunitika sebagai Ilmu Pemahaman Linguistik
Hermeunitika linguistik sebagai kelanjutan dari hermeunitika filologis, ia telah melangkah lebih jauh di balik teks. Hermeunitika jenis ini menyatakan bahwasanya sebuah teks yang dihadapi tidak sama sekali asing dan tidak sepenuhnya biasa bagi seorang penafsir. Keasingan suatu teks di sini diatasi dengan mencoba membuat rekonstruksi imajinatif atas situasi zaman dan kondisi batin pengarangnya dan berempati dengannya. Dengan kata lain harus juga dilakukan penafsiran psikologis atas teks itu sehingga dapat mereproduksi pengalaman sang pengarang.
d)     Hermeunitika sebagai Fondasi Metodologis dari geiteswissenschaften
Dalam perkembangannya, hermeunitika dalam perspektif ini dijadikan sebagai metode untuk memperoleh makna kehidupan manusia secara menyeluruh, sehingga garapan kerjanya tidak semata-mata interpretasi teks saja, tetapi berusaha memperoleh makna kehidupan dari semua bentuk sinyal dan simbol, praktik sosial, kejadian-kejadian sejarah dan termasuk juga karya-karya seni. Menurut Dilthey, suatu peristiwa sejarah itu dapat dipahami dengan tiga proses. Pertama, memahami sudut pandang atau gagasan para pelaku aksi. Kedua, memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka yang secara langsung berhubungan dengan peristiwa sejarah. Ketiga, menilai peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat sejarawan yang bersangkutan hidup.
e)      Hermeunitika sebagai Fenomenologi Dasein dan Pemahaman Eksistensial
Hermeunitika sebagai “hermeunitika dasein” merupakan hermeunitika yang tidak terkait dengan ilmu atau peraturan interpretasi teks dan juga tidak terjait dengan metodologi bagi ilmu sejarah (humaniora), tetapi terkait dengan pengungkapan fenomologis dari cara beradanya manusia itu sendiri. Pada intinya menurut Edmund Husserl mengatakan bahwa pemahaman dan penafsiran adalah bentuk-bentuk eksistensi manusia.
f)       Hermeunitika sebagai Sistem Penafsiran
Setelah hermeunitika mengalami beragam pendefinisian di tangan beberapa tokoh, dari mulai pengertian sebagai teori penafsiran konvensional sampai merupakan bagian dari metode filsafat, kemudian muncullah seorang tokoh bernama Paul Ricoeur yang menari kembali diskursus hermeunitika ke dalam kegiatan penafsiran dan pemahaman teks. Lebih lanjut dia mengatakan, hermeunitika adalah teori mengenai aturan-aturan penafsiran yaitu penafsiran terhadap teks tertentu atau sekumpulan tanda atau simbol yang dianggap teks. Hermeunitika juga bertujuan untuk menghilangkan misteri yang terdapat dalam simbol dengan cara membuka selubung-selubung yang menutupinya. Hermeunitika membuka makna yang sesungguhnya, sehingga dapat mengurangi keanekaragaman makna dari simbol-simbol. Langkah pemahaman Hermeunitika menurut Ricoeur ada tiga langkah yakni Pertama, langkah simbolik atau pemahaman dari simbol ke simbol. Kedua, pemberian makna oleh simbol serta penggalian yang cermat atas makna. Ketiga, langkah filosofis yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya.
2.2 Penerapan Hermeunitika
Sebagai ilmu yang memahami sebuah teks, hermeneutika mempunyai tingkat fleksibilitas yang tinggi. Ia dapat diterapkan di sejumlah ilmu-ilmu kemanusiaan. Pengalaman kehidupan manusia menyimpan banyak pelajaran tentang kehidupan. Pengalaman masa lalu manusia seringkali tidak selalu sama dengan apa yang terjadi saat ini. Pengungkapan pengalaman manusia di masa lalu selalu asing bagi pembaca berikutnya. Disinilah perlu adanya penafsiran secara benar pengalaman itu. Pengalaman manusia tidak hanya berada dalam satu ruang lingkup saja. Pengalaman manusia inilah yang telah mengajarkan ilmu-ilmu kemanusiaan. Agar kita dapat belajar dan memahami tentang pengalaman-pengalaman manusia masa lampai yang berguna bagi kelangsungan kehidupan manusia maka ilmu-ilmu kemanusiaan itu sangat memerlukan hermeunitika (Dilthey dalam Subiyantoro, 2006: 80).
Hermeneutika sebagai proses penafsiran sudah berlangsung sejak dahulu, namun hermeneutika sebagai istilah baru dikenal di seputar abad ketujuh belas. Disiplin ilmu yang kerap kali menggunakan hermeneutika adalah ilmu tafsir kitab suci. Semua karya yang berasal dari sebuha wahyu illahi seperti Al-Qur’an, Injil, Taurat, Veda agar dapat dimengerti oleh umatnya memerlukan hermeneutika untuk menafsirkannya. Tanpa adanya upaya penafsiran, maka sebuah prasasti yang ada hanyalah sebuah batu dengan tulisan kuno yang tidak bermakna sama sekali bagi orang yang melihatnya kecuali sekedar kekagumannya terhadap prasasti tersebut.
Menurut Sumaryono dalam Subiyantoro (2006: 80) menyatakan bahwa pentingnya hermeneutika dalam ilmu sejarah adalah memberikan penafsiran terhadap produk sejarah yang telah ditunjukkan lewat sebuah prasasti. Dengan hermeneutika orang akan tahu bagaimana sebenarnya sejarah tentang kehidupan kerajaan masa lampau dan makna apa yang diperoleh dari sejarah melalui prasasti. Tidak hanya dalam ilmu agama dan sejarah, hermeneutika juga dapat berguna dalam hukum dan seni.
Kunci dari sebuah hermeneutika adalah bahasa. Karena melalui bahasa kita dapat berkomunikasi, tetapi melalui bahasa pun kita juga bisa salah paham atau salah tafsir. Pengertian dan penafsiran yang diperoleh sangatlah tergantung dari banyaknya faktor yang ada yakni mengenai siapa yang berbicara, keadaan khusus yang berkaitan dengan waktu, tempat ataupun situasi yang dapat mewarnai arti sebuah peristiwa bahasa.
Hermeneutika yang merupakan ilmu penafsiran terhadap sesuatu mempunyai pola kerja yakni sebagai pemberi potensi nilai terhadap suatu obyek. Maksudnya disini ialah, sebelum kita menafsirkan sebuah obyek maka kita harus lebih dahulu mengerti dan memahami. Memang pada kenyataannya untuk mengerti lebih dahulu dan tidak dapat menentukan pada indikator-indikator tertentu atau waktu-waktu tertentu. Mengerti seringkali terjadi begitu saja secara alamiah. Bisa jadi seseorang menjadi mengerti setelah penafsiran atau sebaliknya, mengerti dahulu setelah itu baru muncul penfasiran. Inilah yang disebut dengan “lingkaran hermeneutika” (Sumaryono dalam Subiyantoro, 2006:82).
Kegiatan penafsiran adalah proses yang bersifat triadik (mempunyai tiga segi yang saling berhubungan). Dalam hal ini seseorang yang melakukan penafsiran hendaknya dua harus mengenal pesan atau teks yang ada, lalu setelah itu ia harus meresapi isi teks yang ada sehingga seorang penafsir tersebut seolah-olah bisa berada dalam keadaan dimana teks tersebut berada. Dengan begitu maka penafsir bisa memahami secara sungguh-sungguh terhadap suatu pengetahuan yang akan ditafsirkan tersebut dengan benar. Seorang penafsir, tidak boleh bersifat pasif, ia harus melakukan suatu proses rekontruksi makna. Rekontruksi makna merupakan suatu proses pemahaman yang kita peroleh melalui proses menghubungkan semua bagian yang ada dalam suatu obyek yang diteliti. Semua detail yang ada harus diperhatikan karena apabila hal tersebut diabaikan maka tidak akan tercipta suatu rekonstruksi yang menyeluruh. Dari keseluruhan proses yang dipaparkan diatas itulah yang kemudian dikenal dengan metode hermeneutika yaitu suatu proses memahami makna (Schleiermacher dalam Subiyantoro, 2006: 83).
Dari beberapa hal diatas dapat pula diketahui bahwa cara kerja hermeneutika adalah mengenai penegasan makna otentik yang ingin dicapai selalu dilihat dalam konteks ruang dan waktu. Memahami makna objek yang diluar konteks akan mendapat sebuah makna yang kita lihat adalah pemahaman makna semu. Keautentikan makna hanya bisa dimengerti dan dipahami dalam ruang dan waktu yang persis tepat dimana ia berada. Artinya, setiap makna selalu tersituasikan dan hanya benar-benar dapat dipahami dalam situasinya. Pemahaman makna yang tidak autentik adalah makna yang dikontrol situasi. Jadi inti dari pekerjaan hermeneutika adalah untuk mengmbalikan pada pengalaman orisinil dari para penulis (teks) dengan maksud untuk menemukan “kunci” makna kata-kata atau ungkapan pada konteks saat ini. Dalam mengkaji sebuah teks yang ada dengan Hermeneutika kita tidak bisa lepas dari dua hal yang sangat berpengaruh yakni mengenai subyektivitas teks dan subyektivitas penafsir. Untuk lebih jelasnya akan dibahas sebagai berikut :
1.      Subyektivitas Teks
Teks dalam arti yang lebih luas tidak hanya sebatas pada pengertian tulisan. Para ahli Sejarah mulai memperkenalkan begaimana memahami sejarah dengan tidak hanya dilakukan sebuah teks tertulis. Teks lisan mempunyai otentisitas yang lebih dari teks tertulis (Guan dalam Subiyantoro, 2006:83). Teks disini mengalami perluasan makna. Kata-kata yang akhirnya kita tulis adalah sebuah teks tulis, maka untuk memahami makna dari apa yang dituliskan berarti kita sedang mencari makna dari teks tulis. Memahami teks juga dapat dilakukan dalam bentuk lain yakni dengan cara memahami teks secara lisan. Sebuah rekaman wawancara dapat digunakan ketika ingin memahami makna dari wawancara itu, maka hasil pemahaman itu berasal dari teks yang terkandung dari hasil wawancara yaitu teks lisan.
Menurut Subiyantoro (2006:85) menyatakan bahwa teks juga merupakan relalitas sosial yang mengalami fiksasi atau pemantapan. Oleh karena itu, menafsirkan atau menganalisis teks tidak lain adalah kegiatan menganalisis atau menafsirkan suatu realitas sosial yang telah diinterpretasikan ke dalam teks. Teks sendiri dalam studi ini merupakan suatu ekspresi wacana lisan. Teks sebagai realitas sosial mempunyai arti bahwa kehadiran teks itu tidak berdiri sendiri. Ia hadir dalam apa pun bentuknya tidak terlepas peristiwa apa yang menghadirkannya.
Seperti sebuah prasyarat bahwa kebutuhan subyektifitas teks ini sangat memegang peranan dalam studi hermeneutika. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Robinson menyatakan bahwa “suatu hermeneutika yang diterima pada dasarnya adalah titik awal yang dipilih secara sadar dan berisikan komponen ideologis, sikap, metodologis yang dirancang untuk membantu usaha interpretasi dan memudahkan pemahaman yang maksimal (Esack dalam Subiyantoro, 2006:86). Hal ini disampaikan karena hermeneutika tidak hanya membutuhkan penafsiran teks secara tunggal tetapi hermeneutika membutuhkan pula penafsiran yang terkait dengan terbentuknya teks tersebut seperti ideologi, sikap, moral, religiusitas dan sebagainya.

1 komentar: