Senin, 12 Januari 2015

SEJARAH ADIPATI ARYA BLITAR DI KADIPATEN BLITAR



ABSTRAK: Sejak zaman pemerintahan kerajaan Singhasari, Majapahit, hingga Kadipaten Blitar, Blitar telah menjadi sebuah tempat yang sangat berperan penting dalam bidang politik kerajaan. Banyak bukti-bukti sejarah dari kerajaan Singhasari yang dibangun di Blitar. Bukti-bukti tersebut menyebar di berbagai tempat di kabupaten Blitar. Pada zaman dulu (namun masih bertahan hingga sekarang), daerah Blitar merupakan daerah lintasan antara Dhoho (Kediri) dengan Tumapel (Malang) yang paling cepat dan mudah. Di sinilah peranan penting yang dimiliki Blitar, yaitu daerah yang menguasai jalur transportasi antara dua daerah yang saling bersaing (Panjalu dan Jenggala serta Dhoho dan Singosari). Meski di Blitar sendiri sebenarnya tidak pernah berdiri sebuah pemerintahan kerajaan. Akan tetapi, keberadaan belasan prasasti dan candi menunjukkan Blitar memiliki posisi geopolitik yang penting. Kendati kerajaan di sekitar Blitar lahir dan runtuh silih berganti, Blitar selalu menjadi kawasan penting. Tidak mengherankan jika di Blitar terdapat setidaknya 12 buah candi. Pada masa “kepemimpinan” Djoko Kandung, atau Adipati Aryo Blitar III, pada sekitar tahun 1723 dan di bawah Kerajaan Kartasura Hadiningrat, pimpinan Raja Amangkurat , Blitar pun jatuh ke tangan penjajah Belanda. Karena, Raja Amangkurat menghadiahkan Blitar sebagai daerah kekuasaannya kepada Belanda yang dianggap telah berjasa karena membantu Amangkurat dalam perang saudara termasuk perang dengan Aryo Blitar III, yang berupaya merebut kekuasaannya. Blitar pun kemudian beralih kedalam genggaman kekuasaan Belanda, yang sekaligus mengakhiri eksistensi Kadipaten Blitar sebagai daerah pradikan.

Kata kunci: sejarah, adipati, Blitar

Dahulu Bangsa Tartar dari asia timur sempat menguasai tanah Blitar, yang kala itu belum bernama Blitar. Majapahit sebagai penguasa nusantara merasa perlu untuk merebutnya. Kerajaan adidaya itu mengutus Niluswara untuk memukul mundur Bangsa Tartar.Keberuntungan berpihak pada Niluswara. ia dapat memaksa mundur pendudukan bangsa dari Mongolia itu. Atas  jasanya, ia akhirnya dianugerahi gelar Adipati Aryo Blitar I dan memimpin Blitar. Ia menamakan tanah yang berhasil ia bebaskan dengan nama Balitar yang berarti kembalinya bangsa Tartar. Namun pada perkembangannya, terjadi konflik antara Aryo Blitar I dengan Ki Sengguruh Kinareja seorang patih Kadipaten Blitar.Namun keberuntungan kini beralih. Aryo Blitar I lengser dan Sengguruh meraih tahta dengan gelar Adipati Aryo Blitar II. Pemberontakan kembali terjadi. Aryo Blitar II dipaksa turun oleh Djoko Kandung yang merupakan anak dari Aryo Blitar I. Djoko Kandung adalah anak hasil perkawinan antara Aryo Blitar I dengan Dewi Rayung Wulan.



 
 ¹ Universitas Negeri Malang, Minggirsari, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar.
Kepemimpinan Djoko Kandung dihentikan oleh kedatangan bangsa Belanda di bumi pertiwi.Sebenarnya rakyat Blitar yang multi etnis saat itu telah melakukan perlawanan. Tapi, perlawanan itu diredam oleh Belanda dengan membuat peraturan baru.
Cerita diatas menggambarkan bahwa wilayah Blitar mempunyai peranan penting pada masa kerajaan Singhasari hingga Majapahit. Blitar menyimpan cerita sejarah yang banyak dan belum kita ketahui. Diantaranya yaitu sejarah kehidupan Blitar pada masa kepemimpinan Adipati Arya Blitar. Dalam artikel ini akan membahas tentang sejarah adipati Arya Blitar pada masa itu. Dengan berbagai referensi yang ada, artikel ini akan menjabarkan secara luas bagaimana keadaan Blitar pada masa kepemimpinan Adipati Arya Blitar.

KEADAAN BLITAR PADA MASA KERAJAAN SINGHASARI
Dari raja-raja Singhasari, Kertanegaralah yang paling diketahui riwayatnya, dan pemerintahan Kertanegara pula yang paling banyak peristiwanya. Dalam bidang keagamaan ia sangat menonjol dan sangat dikenal sebagai seorang penganut agama Budha Tantrayana. Dia mengangkat seorang dharmadyaksa ri kasogatan (kepala agama Budha).
      Pada awal pemerintahannya ia berhasil memadamkan pemberontakan Kalanaya Bhaya (Cayaraja). Dalam pemberontakan itu Kalanaya Bhaya mati terbunuh. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1270. Dalam ilmu politiknya, Kertanegara mencita-citakan kekuasaan yang meliputi daerah-daerah disekitar Singhasari sampai seluas mungkin. Sehingga demi cita-citanya itu, ia menyingkirkan tokoh-tokoh yang mungkin menentang atau menjadi penghalang. Mula-mula ia membunuh patihnya sendiri yang bernama Kebo Arema atau Raganata, ia ganti dengan Kebo Tengah atau Aragani. Raganata dijadikan Adhyaksa di Tumapel. Kemudian seorang yang kurang dipercaya karena terlalu dekat kepada Kadiri, bernama Banak Wide, dijauhkan dengan pengangkatan menjadi bupati di Sumenep (Madura) dengan gelar Aryawiraraja. Pada tahun 1275, Kertanegara mengembangkan sayapnya ke Sumatera Tengah. Pengiriman pasukan kesana yang terkenal dengan nama Pamalayu, berlangsung sampai tahun 1292 (Soekmono, 1973: 64).
      Tindakan Raja Kertanegara untuk meluaskan kekuasaanya ke luar Jawa itu rupa-rupanya didorong oleh ancaman dari Cina. Dimana pada tahun 1260 berkuasa kaisar Shih-tsu Khubilaikhan yang pada tahun 1260 mendirikan dinasti Yuan. Khubilai Khan segera memulai dengan minta pengakuan kekuasaan dari Negara-negara yang sebelumnya mengakui kekuasaan raja-raja Cina dari Dinasti Sung Jawa juga tudak luput dari incaran. Utusan Khubilai Khan mulai datang pada tahun 1280 dan 1281, menuntut supaya ada seorang pangeran yang dikirim ke Cina sebagai tanda tunduk kepada kekaisaran Yuan. Ancaman itulah yang mengubah pandangan raja Kertanegara yang semula hanya diarahkan ke lingkungan pulau Jawa saja, maka menjadi sampai keluar pulau Jawa (Soejono,1993:414).
      Banyak orang desa yang ribut, takut karena kedatangan tentara Daha di kerajaan Singhasari. Banyak diantara orang desa yang luka parah karena melawan tentara musuh. Sementara itu, banyak pula yang lari mengungsi. Tabuh titir dibunyikan isyarat bahwa ada bahaya. Justru itulah yang direncanakan oleh tentara Kadiri. Utusan dari Mameling datang menghadap raja Kertanegara untuk memberitahukan bahwa tentara Kadiri telah tiba di Mameling. Namun, sang prabu tidak percaya. Para pengungsi dari daerah utara terus mengalir masuk kota Singhasari. Ada yang menangis, ada yang luka parah, ada pula yang harus digendong. Melihat mereka itu, barulah raja Kertanegara percaya akan kebenaran tentang kedatangan tentara musuh. Segera Raden Wijaya dipanggil dan diperintahkan berangkat menuju Mameling, memimpin tentara Singhasari. Tipu muslihat raja Jayakatwang berhasil menurut rencana. Tentara Singhasari berhasil dipancing musuh. Setelah Raden Wijaya berangkat dengan tentaranya, segera raja Kertanegara memerintahkan Kyai Patih Kebo Anenga untuk menyusul ke Mameling, karena ia khawatir kalau-kalau Raden Wijaya kewalahan melawan tantara musuh. Adhyaksa Raganata dan mantra Angabhaya Wirakreti memperingatkan sang prabu bahwa tindakan itu kurang bijaksana. Dengan berangkatnya Patih Kebo Anenga, kota Singhasari tidak terjaga. Bahaya mudah mengancam kota Singhasari. Sementara itu, Kertanegara tinggal di pura, mengenyam kenikmatan hidup, seolah-olah tidak ada bahaya mengancam, dihadap oleh patih Angragani. Bala tentara Kadiri telah masuk pura Singhasari dari selatan melalui Lawor terus menuju ke Sidabawana, dibawah pimpinan Kebo Mundrang. Raganata dan Wirakreti tergopoh-gopoh memberi tahu sang prabu bahwa tentara musuh telah datang.
     Raja Kertanegara beserta Panji Angragani, Mpu Raganata dan mantra Angabaya Wirakreti gugur dalam perlawanan gigih terhadap tentara Kadiri, yang datang menyerbu Pura Singhasari. Mendengar sorak sorai tentara musuh di Manguntur, Mahisa Anengah yang diperintahkan menyusul Raden Wijaya ke jurusan utara segera membalik, kembali menuju Pura Singasari, dengan maksud untuk menyelamatkan Prabu Kertanegara. Namun telah terlambat. Perlawanan gigih terhadap tentara musuh tidak berhasil. Mahisa Anengah beserta tentaranya gugur juga dalam pertempuran. Masa kejayaan Kertanegara, raja Singasari terakhir, berakhir tragis dan menyedihkan. Jayakatwang dan pemberontak itu, berhasil mencapai tujuannya dengan cara keji (Suyono, 2003: 9-10).

KEADAAN BLITAR PADA MASA KERAJAAN MAJAPAHIT
     Blitarlah yang mengawasi lalu-lintas ini hingga Blitar mendapatkan kedudukan yang boleh dikata istimewa. Ini dapat dilihat dari adanya banyak prasasti dan bangunan suci di Blitar yang hampir semua memberikan hadiah bebas pajak kepada desa-desa. Desa-desa ini disebut Sima. Walaupun bebas pajak namun, Sima ini dibebani tugas istimewa yang berhubungan dengan banungunan suci atau dengan raja berdasarkan atas pertimbangan ekonomis (Soekmono, 1973). Nampaknya raja-raja sejak Balitung sampai jatuhnya kerajaan Majapahit, berkepentingan di daerah Blitar ini. Bahkan Raja terbesar Majapahit Hayam Wuruk, selama pemerintahanya tidak kurang dari tiga kali mengelilingi Blitar. Bahwa seorang raja yang berstatus prabu (maharaja) seperti Hayam Wuruk itu sampai berkali-kali pergi ke Blitar.  Maka arti penting Blitar tidak dapat begitu saja diabaikan.
      Di dalam Kitab Nagarakertagama Pupuh I : 4-5 pada tahun 1334 M Gunung Kampud (Gunung Kelud sekarang) meletus, dengan kilat dan guntur bersambungan di udara, hujan abu serta gempa bumi yang sebenarnya pertanda kelahiran seorang bayi sebagai Putra Mahkota Hayam Wuruk (Slamet Mulyana; 1979). Biasanya masa lalu, apabila ada kelahiran seorang anak (putra mahkota) yang lahir ke dunia kemudian “disertai alam berontak” (seperti gempa bumi, air bah dan sebagainya). Itu akan menjadi seorang raja yang adigdaya (memiliki kekuatan supranatural tinggi).
      Pada tahun 1350 M, putra mahkota Hayam Wuruk dinobatkan menjadi raja Majapahit. Ia bergelar Sri Rajasanagara, dan dikenal pula dengan nama Bhra Hyang Wekasing Sukha. Ketika ibunya Tribhuwanatunggadewi masih memerintah, Hayam Wuruk telah dinobatkan menjadi raja muda dan mendapat daerah Jiwana sebagai daerah lungguhnya. Dalam menjalankan pemerintahannya Hayam Wuruk didampingi oleh Gajah Mada yang menduduki jabatan Patih Hamangkubhumi. Jabatan ini sebenarnya sudah diperoleh ketika ia mengabdi kepada raja Tribhuwanattunggadewi, yaitu setelah ia berhasil menumpas pemberontakan di sadeng. Dengan bantuan Patih Hamangkubhumi Gajah Mada, raja Hayam Wuruk berhasil membawa kerajaan Majapahit ke puncak kejayaannya. Seperti halnya raja Kertanegara yang mempunyai gagasan politik perluasan cakrawala mandala yang meliputi seluruh Dwipantara, Gajah Mada ingin melaksanakan pula gagasan politik nusantaranya yang telah dicetuskan sebagai Sumpah Palapa di hadapan raja Tribhuwanattunggadewi dan para pembesar kerajaan Majapahit. Dalam rangka menjalankan politik nusantaranya itu satu demi satu daerah-daerah yang belum bernaung di bawah panji kekuasaan Majapahit ditundukkan dan dipersatukannya. Dari pemberitaan Prapanca di dalam Kakawin Nagarakertagama dapat diketahui bahwa daerah-daerah yang ada di bawah kekuasaan Majapahit itu sangat luas. Politik Nusantara ini berakhir sampai tahun 1357 M, dengan terjadinya peristiwa di Bubat, yaitu perang antara orang Sunda dan Majapahit. Kitab Pararaton masih menyebutkan pula adanya ekspedisi ke Dempo dalam th 1357 M, yang bersamaan dengan terjadinya peristiwa di Bubad (Drs. Haris Daryono Ali Haji, SH, MM, 2009: 54).
     Dari kitab Pararaton kita mengetahui, bahwa setelah peristiwa bubat berakhir kemudian Gajah Mada Mukti Palapa, mengundurkan diri dari dari jabatannya. Beberapa waktu kemudian ia aktif kembali dalam pemerintahan, tetapi tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai program politik Nusantaranya setelah peristiwa Bubat. Di dalam Kakawin Nagarakertagama, disebutkan bahwa raja Hayam Wuruk pernah menganugerahkan sebuah Sima kepada Gajah Mada, yang kemudian diberi nama Darma Kasogatama Madakaripura. Pada waktu Hayam Wuruk mengadakan perjalanan ke Lumajang, ia singgah di Sima Darma Kasogatama Madakaripura dan menempati pesanggrahannya. Sima Madakaripura ini agaknya kemudian berkembang menjadi desa sima yang cukup pada abad XVI (Slamet Muljana, 1979:139)
      Pada tahun 1316 dan 1317 Kerajaan Majapahit carut marut karena terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Kuti dan Sengkuni. Kondisi itu memaksa Raja Jayanegara untuk menyelamatkan diri ke desa Bedander dengan pengawalan pasukan Bhayangkara dibawah pimpinan Gajah Mada. Berkat siasat Gajah Mada, Jayanegara berhasil kembali naik tahta dengan selamat. Adapun Kuti dan Sengkuni berhasil diringkus dan kemudian dihukum mati. Oleh karena sambutan hangat dan perlindungan ketat yang diberikan penduduk Desa Bedander, maka Jayanegara pun memberikan hadiah berupa prasasti kepada para penduduk desa tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa pemberian prasasti ini merupakan peristiwa penting karena menjadikan Blitar sebagai daerah swatantra di bawah naungan Kerajaan Majapahit. Peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada hari Minggu Pahing bulan Srawana tahun Saka 1246 atau 5 Agustus 1324 Masehi, sesuai dengan tanggal yang tercantum pada prasasti. Tanggal itulah yang akhirnya diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Blitar setiap tahunnya (http://blitarian.com/content/view/70/43//).

SEJARAH ADIPATI ARYA BLITAR PADA MASA KADIPATEN BLITAR
      Seperti diketahui, menurut sejumlah buku sejarah, terutama buku Bale Latar, Blitar didirikan pada sekitar abad ke-15. Nilasuwarna atau Gusti Sudomo, anak dari Adipati Wilatika Tuban, adalah orang kepercayaan Kerajaan Majapahit, yang diyakini sebagai tokoh yang mbabat alas. Sesuai dengan sejarahnya, Blitar dahulu adalah hamparan hutan yang masih belum terjamah manusia. Nilasuwarna, ketika itu, mengemban tugas dari Majapahit untuk menumpas pasukan Tartar yang bersembunyi di dalam hutan selatan (Blitar dan sekitarnya). Sebab, bala tentara Tartar itu telah melakukan sejumlah pemberontakan yang dapat mengancam eksistensi Kerajaan Majapahit. Singkat cerita, Nilasuwarna pun telah berhasil menunaikan tugasnya dengan baik Bala pasukan Tartar yang bersembunyi di hutan selatan, dapat dikalahkan.
      Sebagai imbalan atas jasa-jasanya, oleh Majapahit, Nilasuwarna diberikan hadiah untuk mengelola hutan selatan, yakni medan perang yang dipergunakannya melawan bala tentara Tartar yang telah berhasil dia taklukkan. Lebih daripada itu, Nilasuwarna kemudian juga dianugerahi gelar Adipati Ariyo Blitar I dengan daerah kekuasaan di hutan selatan. Kawasan hutan selatan inilah , yang dalam perjalanannya kemudian dinamakan oleh Adipati Ariyo Blitar I sebagai Balitar (Bali Tartar). Nama tersebut adalah sebagai tanda atau pangenget untuk mengenang keberhasilannya menaklukkan hutan tersebut. Sejak itu, Adipati Ariyo Blitar I mulai menjalankan kepemimpinan di bawah Kerajaan Majapahit dengan baik. Dia menikah dengan Gutri atau Dewi Rayung Wulan, dan dianugerahi anak Djoko Kandung. Namun, di tengah perjalanan kepemimpinan Ariyo Blitar I , terjadi sebuah pemberontakan yang dilakukan oleh Ki Sengguruh Kinareja, yang tidak lain adalah Patih Kadipaten Blitar sendiri. Ki Sengguruh pun berhasil merebut kekuasaan dari tangan Adipati Ariyo Blitar I, yang dalam pertempuran dengan Sengguruh dikabarkan tewas. Selanjutnya Sengguruh memimpin Kadipaten Blitar dengan gelar Adipati Ariyo Blitar II. Selain itu, dia juga bermaksud menikahi Dewi Rayungwulan. Mengetahui bahwa ayah kandungnya (Adipati Ariyo Blitar I) dibunuh oleh Sengguruh atau Adipati Ariyo Blitar II maka Djoko Kandung pun membuat perhitungan. Dia kemudian melaksanakan pemberontakan atas Ariyo Blitar II, dan berhasil. Djoko Kandung kemudian dianugerahi gelar Adipati Ariyo Blitar III. Namun sayangnya dalam sejarah tercatat bahwa Joko Kandung tidak pernah mau menerima tahta itu, kendati secara de facto dia tetap memimpin warga Kadipaten Blitar.
      Pada masa “kepemimpinan” Djoko Kandung, atau Adipati Ariyo Blitar III, pada sekitar tahun 1723 dan di bawah Kerajaan Kartasura Hadiningrat, pimpinan Raja Amangkurat , Blitar pun jatuh ke tangan penjajah Belanda. Karena, Raja Amangkurat menhadiahkan Blitar sebagai daerah kekuasaannya kepada Belanda yang dianggap telah berjasa karena membantu Amangkurat dalam perang saudara termasuk perang dengan Ariyo Blitar III, yang berupaya merebut kekuasaannya.Blitar pun kemudian beralih kedalam genggaman kekuasaan Belanda, yang sekaligus mengakhiri eksistensi Kadipaten Blitar sebagai daerah pradikan(http://www.trucuriwindows.net/trucurivideo/video/2v-3Ff9V0tk/Makam-Arya-Blitar-Penguasa-Pertama-Kadipaten-Blitar.html).
KESIMPULAN

·      Blitar mempunyai kedudukan yang sangat penting sejak masa kerajaan Majapahit hingga kepemerintahan Adipati Arya Blitar. Sebagai imbalan atas jasa-jasanya, oleh Majapahit, Nilasuwarna diberikan hadiah untuk mengelola hutan selatan, yakni medan perang yang dipergunakannya melawan bala tentara Tartar yang telah berhasil dia taklukkan. Lebih daripada itu, Nilasuwarna kemudian juga dianugerahi gelar Adipati Ariyo Blitar I dengan daerah kekuasaan di hutan selatan. Kawasan hutan selatan inilah , yang dalam perjalanannya kemudian dinamakan oleh Adipati Ariyo Blitar I sebagai Balitar (Bali Tartar).
·      Di tengah perjalanan kepemimpinan Ariyo Blitar I , terjadi sebuah pemberontakan yang dilakukan oleh Ki Sengguruh Kinareja, yang tidak lain adalah Patih Kadipaten Blitar sendiri. Ki Sengguruh pun berhasil merebut kekuasaan dari tangan Adipati Ariyo Blitar.
·      Pada masa “kepemimpinan” Djoko Kandung, atau Adipati Ariyo Blitar III, pada sekitar tahun 1723 dan di bawah Kerajaan Kartasura Hadiningrat, pimpinan Raja Amangkurat , Blitar pun jatuh ke tangan penjajah Belanda.


DAFTAR RUJUKAN

Drs. Ali Haji, Haris Daryono. 2006. Dari Majapahit Menuju Pondok Pesantren. Yogyakarta: Bagaskara

Muljana, Slamet. 2005. Menuju Puncak Kemegahan. Yogyakarta: LkiS

Muljana, Slamet. 1979. Nagara Kretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhatara Karya Aksara

Soekmono. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid 2. Yogyakarta: Kanisius

Soekmono.1993. Sejarah Nasional Indonesia Jilid 2. Jakarta: Balai Pustaka

Suyono. 2003. Peperangan Kerajaan di Nusantara. Jakarta: Grasindo


http://blitarian.com/content/view/70/43//: diakses pada tanggal 31 Mei 2011 pada jam 10.00 WIB .


5 komentar:

  1. Assalammualaikum.mbak ini saya kurniawan dari ISI Surakarta,mau tanyak soal buku yg berjudul SEJARAH ADIPATI ARYA BLITAR DI KADIPATEN BLITAR. Bukunya itu di blitar ada apa gak !

    BalasHapus
  2. Soalnya saya sendiri jga anak blitar..

    BalasHapus
  3. Urutan waktunya agak janggal. Aryo Blitar I membuka hutan Blitar sekitar abad 15, sedangkan anaknya Joko Kandung (Aryo Blitar III) memimpin Blitar hingga jatuh ke tangan Belanda di tahun 1723 (abad 18). Berapa tahun masa hidup & memerintahnya Aryo Blitar III? lebih dari 1-2 abad?

    BalasHapus
    Balasan
    1. anggap aja begitu,... sehingga terbukti bahwa aryo blitar I bukan yang babat alas,... karena waktu itu blitar sudah ada orang nya,... dengan bukti 12 candi,... lodaya, sawentar, mleri dsb.

      Hapus
  4. Adikku sing ayu dewe pinter juga sebagai guru sejarah...mantap

    BalasHapus